Unduh Adobe Flash player

Mengenal Thoriqoh Mu’tabarah

Share on :
Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti
jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian
ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan,
sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil
mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya
mahluk, aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian
orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati,
karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah,
yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada
yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima.
Yang dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan,
Mu’tabaroh. Wa ghoiru Mu’tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi
yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi,
semua Thoriqoh yang Mu’tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil
(bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh
sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut
Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Barometer lain untuk
menentukan ke-mu’tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah
pelaksanaan syari’at. Dalam semua Thoriqoh Mu’tabaroh syariat
dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :


  • Thoriqoh Syathariyah
Thoriqoh Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M).
Thoriqoh Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan
Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082)
dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini
diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara,
kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke
Minangkabau. Thoriqoh Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din,
berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu :
  1. silsilah yang diterima dari Imam Maulana.
  2. silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan.
  3. silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan.
  4. silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ al-Qulub.
Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau
dan sekitarnya. Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum
Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial
keagamaan Jama’ah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang
dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di
propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya
kelembagaan Thoriqoh Syathariyah dapat ditemukan wujudnya
pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din
Ulakan.


  • Thoriqoh Qadiriyyah
Di Jawa Tengah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah muncul
dan berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung
Mranggen diturunkan kepada antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes
Futuhiyyah, Mranggen. Dari Kyai Muslih ini lahir murid-murid
Thoriqoh yang banyak. Dan dari tangan mereka berkembang
menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah Kyai
Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh ini ke berbagai
tempat melalui anak muridnya yang tersebar ke pelosok Jawa
Tengah hingga mencapai puluhan ribu pengikut. Sementara di
Jawa Timur, Thoriqoh ini dikembangkan oleh KH. Musta’in Romli
Rejoso Jombang dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian
dilanjutnya putra-putranya diantaranya KH. Asrori yang juga
mempunyai murid ratusan ribu. Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes
Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil membesarkan Thoriqoh ini
sejak mulai zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan murid-muridnya
yang tersebar di berbagai penjuru Jawa Barat.


  • Thoriqoh Alawiyyah
Thoriqoh Alawiyyah berbeda dengan Thoriqoh sufi lain pada
umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang
tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat,
melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa
wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat
dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing
oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni
Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya
seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa
Thoriqoh ini merupakan jalan tengah antara Thoriqoh Syadziliyah
(yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Thoriqoh Al-
Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Thoriqoh ini berasal
dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai
negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk
Indonesia). Thoriqoh ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-
Muhajir-lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-
Muhajir-seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam
Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan
tokoh kunci Thoriqoh ini. Dalam perkembangannya kemudian,
Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah,
yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah
yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas,
serta Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi
Bakar Alaydrus, selaku generasi penerusnya. Sementara nama
“Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al
-Muhajir. Thoriqoh Alawiyyah, secara umum, adalah Thoriqoh
yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai
saadah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW-yang
merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat
Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal Thoriqoh ini
didirikan, pengikut Thoriqoh Alawiyyah kebanyakan dari kaum
sayyid di Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thoriqoh ini dikenal pula
sebagai Toriqotul abak wal ajdad, karena mata rantai silisilahnya
turun temurun dari kakek,ayah, ke anak anak mereka, dan
setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain
dari non-Hadhrami. Di Purworejo dan sekitarnya Thoriqoh ini
berkembang pesat, diikuti bukan hanya oleh para saadah
melainkan juga masarakat non saadah , Sayid Dahlan Baabud,
tercatat sebagai pengembang Thoriqoh ini, yang sekarang
dilanjutkan oleh anak cucunya.


  • Thoriqoh Khalwatiyah
Thoriqoh Khalwatiyah diambil dari kata “khalwat”, yang
artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini
dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H),
pendiri Thoriqoh Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempattempat
sepi. Secara “nasabiyah”, Thoriqoh Khalwatiyah
merupakan cabang dari Thoriqoh Az-Zahidiyah, cabang dari Al-
Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh
Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi
(539-632 H). Thoriqoh Khalwatiyah berkembang secara luas di
Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin
Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal
Damaskus, Syiria. Ia mengambil Thoriqoh tersebut dari gurunya
yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi.
Karena pesatnya perkembangan Thoriqoh ini di Mesir, tak heran
jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh
para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran
Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik.
Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan
(Pelipur Duka).


  • Thoriqoh Tijaniyah
Thoriqoh Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin
Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang
tokoh dari gerakan “Neosufisme”. Ciri dari gerakan ini ialah
karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme
dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan
syari’at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh
Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan
Tuhan. At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di ‘Ain Madi,
bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat
menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman
lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi
guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada
tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa
tahun. Setel`h itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun
1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan
selama lima tahun. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh
Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras dari kalangan ulama
Thoriqoh itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thoriqoh
Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan
diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala
yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan
membaca seluruh Al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu,
para pengikut Thoriqoh Tijaniyah diminta untuk melepaskan
afiliasinya dengan para guru Thoriqoh lain, Meski demikian,
Thoriqoh ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan
seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali
Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh
Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang
yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam
pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau
Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya. Penentangan
terhadap Thoriqoh ini, mereda setelah, Jam’iyyah Ahlith-Thariqah
An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Thoriqoh ini bukanlah
Thoriqoh sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah
para ulama ahli Thoriqoh memeriksa wirid dan wadzifah Thoriqoh ini.


  • Thoriqah Sammaniyah
Thoriqah Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman
yang bernama asli Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman al-
Madani al-Qadiri al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan panggilan
Samman. Beliau lahir di Madinah 1132 H/1718 M dan berasal dari
keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar Thoriqoh Khalwatiyyah
di Damaskus, lama kelamaan ia mulai membuka pengajian yang
berisi teknik dzikir, wirid dan ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun
cara pendekatan diri dengan Allah yang akhirnya disebut sebagai
Thoriqoh Sammaniyah. Sehingga ada yang mengatakan bahwa
Thoriqoh Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah. Di
Indonesia, Thoriqoh ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan
Jawa. Sammaniyah masuk ke Indonesia pada penghujung abad 18
yang banyak mendapatkan pengikut karena popularitas Imam
Samman. Sehingga manaqib Syekh Samman juga sering dibaca
berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan
tertentu. Di Palembang misalnya ada tiga ulama Thoriqoh yang
pernah berguru langsung pada Syekh Samman, ia adalah Syekh
Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin
dan Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh juga terkenal
apa yang disebut Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir
(team Al Mihrab ).
Umumnya, nama sebuah Thoriqoh diambil dari nama sang pendiri
Thoriqoh bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi
Thoriqoh Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”, yang
artinya menyendiri untuk merenung.


Semoga Berguna….!!!

1 komentar:

almek said... April 27, 2014 at 2:57 AM

Thoriqoh Naqsyabandiyah kok gak dirilis ?

Post a Comment and Don't Spam!

 
Free Automatic Backlink Backlink Exchange Free Auto Backlinks Auto Backlink Gratis Indonesia : Top Link Indo backlinks referer backlinks referer Text Backlink Exchanges MIM - Free BacklinksYour-Link
,b:section class='lowerbar' id='lowerbar2' preferred='yes'/>

Followers